Kopi
Gayo dan Kopi Toraja
Yang
diklaim oleh Negara lain
Merek kopi Gayo dan kopi Toraja ternyata sudah
dipatenkan oleh pengusaha Belanda dan Jepang, sehingga petani di Indonesia tidak
bisa mengekspor kedua jenis komoditas tersebut dengan nama kopi Gayo atau Toraja.
Pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin mengungkapkan,
kopi Gayo sudah dipatenkan sebagai merek dagang oleh perusahaan multinasional
(MNC) Belanda, sedangkan Kopi Toraja dipatenkan
oleh sebuah perusahaan Jepang. "Akibatnya
petani tidak bisa lagi memakai merek Kopi Gayo," katanya seperti yang dilaporkan ANTARA dalam seminar nasional
"Dekonstruksi Politik Pertanian Menjelang 2009 di Kampus Institut
Pertanian Bogor (IPB), Rabu.
Hadir dalam seminar tersebut Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto, Ketua DPP Partai Hanura, Fuad Bawazier, dan Dekan Sekolah
Pascasarjana IPB, Prof Dr Ir Khairil Anwar Notodiputro, MS. Kopi
Gayo merupakan salah satu komoditas unggulan dari Gayo, Aceh Tengah sedangkan kopi
Toraja berasal dari Tana Toraja, Sulawesi tengah. Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah
harus memperjuangkan agar kedua jenis kopi asli Indonesia tersebut tidak
dijadikan merek dagang oleh pihak asing dengan mendaftarkan indikasi geografis
kedua komoditas itu. "Artinya, nama Gayo dan Toraja itu hanya ada
satu-satunya di Indonesia, tidak ada di daerah lain," katanya. Jadi nama
Kopi Gayo misalnya, adalah hak eksklusif masyarakat Gayo, katanya.
Pendaftaran indikasi geografis bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap produk yang bersangkutan. Bila ada pihak
lain menggunakan indikasi geografis, padahal bukan berasal dari wilayah yang
sudah ditentukan, maka mereka bisa dituntut.
Beberapa hasil pertanian, produk olahan dan hasil
kerajinan yang berpotensi didaftarkan sebagai produk indikasi geografis, misalnya
lada Lampung, tembakau Deli, beras Cianjur, salak Pondoh, markisa Medan,
markisa Makassar, atau manga Indramayu.
Permohonan pendaftaran indikasi geografis sudah
dilakukan untuk kopi Kintamani dan menjadi pemohon pertama sejak pemerintah
membuka pendaftaran produk indikasi geografis pada September tahun 2007 lalu. Pemohon indikasi geografis kopi
Kintamani sudah melengkapi persyaratan, seperti deskripsi georafis, deskripsi
produk, deskripsi pengelolaan, dan jenis tanaman.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Hanura, Wiranto mengemukakan perlunya
dilakukan dekonstruksi politik pertanian yang tidak akurat kemudian
merekonstruksi kebijakan pertanian untuk masa depan. "Kita
sudah agak melalaikan bahwa sebenarnya pertanian yang melahirkan pangan dan
menopang ketahanan pangan menjadi faktor penentu dalam ketahanan
nasional," katanya. Kalau produksi pangan minus dan
tergantung negara lain, ketahanan pangan menjadi rapuh dan akhirnya ketahanan
nasional pun juga rapuh. "Pengalaman di berbagai negara, jika ketahanan
pangan rapuh negara bisa kolaps dari dalam," katanya.
Oleh karenanya, harus ada perubahan secara mendasar
untuk kembali menempatkan pertanian sebagai salah satu domain utama dalam
pembangunan nasional. Sementara itu, staf pelaksana pada sekretariat organisasi
La Via Campesina, Tejo Pramono mengatakan, dekonstruksi politik pertanian
bukan hanya ditujukan pada undang-undang saja namun juga untuk agribisnis yang
berorientasi pasar. "Bagaimana kita bisa berpihak
pada petani jika kita fokus pada agribisnis yang berorientasi pasar. Sedangkan
pasar dikuasai oleh pengusaha besar," katanya.
Kesimpulan :
Indonesia harus berani untuk menuntut kembali budaya yang
diklaim oleh negara lain, apalagi budaya tersebut yang bersangkutan dengan
pertanian yang dimana kopi Gayo dan kopi Toraja adalah salah satu komoditas
unggulan daerah geografis di Indonesia. Dan tidak melalaikan budaya walaupun
budaya tersebut hanya dari pertanian.